ANAK sulung Nyoto, Svetlana, mengaku ingin melihat Soeharto dituntut atas tragedi 1965. Tapi putri Wakil Ketua II CC PKI itu tak pernah ikut dalam kelompok-kelompok keluarga korban G30S yang menggugat pemerintah. "Saya tahu tuntutan-tuntutan itu penting, tapi saya pesimistis ada gunanya," katanya dua tahun lalu. Menurut Svet, ibunya, Sutarni, juga punya keinginan sama.
Tapi Nyonya Nyoto, yang kini berusia 79 tahun, itu tidak menyimpan amarah terhadap Soeharto. Padahal, katanya, "Ada teman Ibu yang marah hingga sakit jika mendengar Soeharto bebas dari tuntutan hukum." Keluarga Nyoto adalah contoh korban G30S yang menjalani hidup tanpa luka dan trauma. Sutarni bisa menceritakan pengalamannya memboyong anak-anaknya, berpindah dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan lain, dengan ringan, bahkan tanpa kehilangan rasa humor.
Mereka tak tahu kapan dan di mana sang suami dan ayah dibunuh, apalagi tahu kuburnya. Tentu tak semua korban G30S bersikap seperti keluarga Nyoto. Sebab, tragedi 43 tahun silam itu melibatkan jumlah manusia yang tidak sedikit. Sekitar tiga juta orang meninggal, belasan ribu dikirim ke Pulau Buru, dan jutaan lainnya menerima perlakuan diskriminatif.
Orde Baru, yang dipimpin Soeharto, menciptakan perangkat hukum yang melegitimasi berbagai tindakan aniaya terhadap masyarakat dengan cap komunis pada waktu itu. Pengiriman ribuan orang ke Pulau Buru, misalnya, sebenarnya demi mengamankan rezim yang baru lahir agar menang dalam pemilihan umum pertama di era Orde Baru, pada 1971. Seharusnya pemerintah sementara pengganti Soekarno menggelar pemilu pada 1968. Tapi, karena Soeharto-yang saat itu menjadi penanggung jawab keamanan-belum siap, hajatan nasional itu ditunda.
Mem-Buru-kan ribuan orang itu, dengan klasifikasi Golongan "B", disahkan dengan surat Panglima Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) No. KEP 009/KOPKAM/2/1969, yang ditandatangani Maraden Panggabean atas nama Soeharto. Jaksa Agung yang bertanggung jawab kepada Pangkopkamtib melengkapi aturan hukum lain untuk "melegalkan" penahanan di Pulau Buru, 1969-1979. Adapun Golongan "C", atau yang dianggap terpengaruh ideologi kiri, setelah ditahan mendapat "hukuman" dalam bermasyarakat, seperti dilarang menjadi pegawai negeri, menjadi anggota parlemen, bahkan ikut pemilihan umum.
Pemerintah membakukan beberapa peraturan pembenaran diskriminasi itu, seperti Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32/1981, yang melarang orang yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan G30S menjadi pegawai negeri, tentara, pendeta, guru. Pertanyaan itu memang tetap menggantung: bersalahkah Soeharto dalam tragedi 1965? Memang, terutama setelah reformasi, para korban "gempa politik" itu melakukan beberapa upaya hukum menuntut pemerintah-bukan Soeharto langsung-agar bertanggung jawab, dengan cara merehabilitasi nama dan memberikan ganti rugi. Tapi semua tuntutan itu kandas. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun membentuk tim untuk menyelidiki pengiriman paksa ribuan orang ke Pulau Buru, sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Anggota Komnas HAM, M.M. Billah, membentuk tim dan membuat proposal.
Tapi, ternyata, metodologi penyelidikan yang ditawarkan Billah tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan 2004. Menurut Billah, gugatan terhadap Soeharto untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Pulau Buru ini bisa dihidupkan kembali jika tujuh dari 20 anggota Komnas HAM menyetujuinya. "Tapi, itu juga belum jaminan penyelidikan itu akan berlanjut, karena harus kembali minta persetujuan DPR," kata Billah. Dia mengakui, berat sekali mengangkat kasus pelanggaran berat hak asasi Pulau Buru hingga ke pengadilan. "Masing-masing kepala punya kepentingan," ia menambahkan, seperti bertamsil. Mungkin jawaban seperti itulah yang membuat orang seperti Svetlana cenderung pesimistis.
0 komentar :
Posting Komentar