GERIMIS merinjis Talangsari, pagi 19 tahun silam itu. Harinya Senin, 7 Februari 1989. Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan, gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk bilangan Way Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing peluru. Empat peleton pasukan Brigade Mobil dari Komando Resor Militer Garuda Hitam, Lampung Tengah, mara bagai dirasuk dendam. Mereka dipimpin Kolonel A.M. Hendropriyono. Sehari-hari, jamaah Warsidi dikenal sebagai kelompok pengajian.
Tapi militer menuduh mereka mempersiapkan negara Islam. Sebelumnya, beberapa kali polisi berselisih dengan anggota kelompok ini. Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, pernah memanggil Anwar, tokoh kelompok itu. Anwar menolak, malah meminta Soetiman datang ke rumahnya. Camat Way Jepara, Zulkifli, kemudian mengirim surat panggilan.
Anwar tetap menolak. Ditemani sejumlah serdadu, Soetiman dan Zulkifli kemudian meluncur ke rumah Anwar. Menurut versi tentara, rombongan ini dihujani anak panah dan batu katapel. Soetiman tewas. Menyusullah kemudian subuh bersimbah darah itu. Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. Tapi sejumlah lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap, dijebloskan ke bui. Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar setelah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998.
Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera mengadili pelaku penembakan. Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan sejumlah pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006. Penyelesaian kasus ini berkelok.
Hasil kerja tim masih harus memasuki tahap analisis hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi Talangsari masuk kategori pelanggaran berat atau ringan. Hasil analisis itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM. Jika pleno menilai tidak terdapat pelanggaran berat hak asasi manusia, kasus ini cukup diselesaikan lewat peradilan umum.
Tapi, jika terdapat pelanggaran berat hak asasi, penyelesaiannya bisa lewat dua pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Jalan berliku itu diprotes sejumlah aktivis hak asasi manusia dan korban Talangsari. Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara, berharap Komnas HAM bisa menyelesaikan kasus ini. Tentara yang terlibat, katanya, kini sudah jadi petinggi, malah berambisi menjadi penguasa. "Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak disebut penjahat perang," katanya. Sejumlah korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan kasus ini. "Kami mendesak pemerintah segera membawa kasus ini ke pengadilan.
Jangan berlama-lama," kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban Talangsari. Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000, ketika menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80 korban dan keluarga korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah. Jalur damai ini ditentang sejumlah korban. Belakangan, beberapa korban yang ikut islah malah menarik diri. Kini kasus ini masih di tahap analisis hukum di Komnas HAM.