SIGIT Harjojudanto sekarang sudah berubah. Putra kedua Soeharto ini gemar menyepi. Terkadang berminggu-minggu mengurung diri di salah satu hotel di Bali. Bila pulang ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta Pusat, pria 57 tahun ini lebih senang di dalam kamar. Sebelum Soeharto meninggal, ayah tiga anak itu jarang kumpul bersama kerabatnya di Jalan Cendana.
Ia juga renggang dengan istrinya, Elsje Anneke Ratnawati. Misalnya, Sigit tak terlihat dalam pengajian keluarga. Kalaupun ia keluar rumah, ia hanya berjalan kaki di dekat kediamannya. Lidahnya juga tak asing dengan makanan murahan kaki lima.
Cerita yang disampaikan oleh orang dekat Sigit ini memang bertolak belakang dengan kehidupannya pada masa ayahnya berkuasa. Menurut seorang partner bisnisnya, Sigit gemar berjudi. Hobinya itu, konon, pernah membuat Soeharto jengkel sehingga melarang Sigit ke luar negeri. Soal uang tak jadi masalah baginya. Lelaki yang cuma mengecap pendidikan di sekolah lanjutan atas ini memiliki saham di puluhan perusahaan. Sigit adalah tipikal putra Soeharto yang pendiam.
Dia cenderung menutup diri dari hiruk-pikuk media massa. Cuma satu kegiatannya yang membuatnya tak menghindar dari wartawan, yaitu menyangkut aktivitasnya di bidang olahraga. Di sini dia menorehkan "nama baik". Sigit mendirikan klub sepak bola Arseto pada 1978. Sigit memang penggemar bola. "Ketika di SMP, saya adalah penyerang," katanya waktu itu. Peran di klub bola inilah yang kemudian mengantar Sigit menjadi Ketua Harian Liga Sepak Bola Utama pada 1980-an. Dia pula yang merintis PSSI Garuda. Di tangannya, tim PSSI mencatat prestasi yang bagus, yaitu menempati posisi kedua perebutan Piala Raja di Thailand, 1983.
Pada tahun yang sama, dia ditabalkan menjadi Pembina Olahraga Terbaik 1983. Di dunia usaha, ia pernah berbisnis dengan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar. Sigit adalah salah seorang pemegang saham di PT Victor Jaya Raya (VJR) yang berkantor di Medan, Sumatera Utara. Perusahaan pengembang ini membangun hunian mewah lengkap dengan lapangan golf di Pancur Batu, Sumatera Utara.
Berdiri pada 1991, VJR mengandalkan kucuran kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPDSU). Mula-mula kredit mengalir ke VJR Rp 18 miliar, hingga 1996 tercatat utang VJR di BPDSU mencapai Rp 200 miliar. Perusahaan ini gampang memperoleh kredit karena pengaruh Sigit dan Raja Inal.
Kendati macet, tak ada yang mempersoalkannya kala itu. Raja Inal sendiri tak lagi bisa dimintai konfirmasi. Pada September 2005 ia tewas dalam kecelakaan pesawat Mandala Airlines di Bandar Udara Polonia, Medan. Setelah Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan, kasus Sigit muncul ke permukaan. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pernah mempersoalkan pada 1998.
Hanya, kredit macetnya tetap tak tersentuh. Dia tak pernah memenuhi panggilan jaksa di Medan itu. Bukan hanya Sigit, bahkan istrinya, Elsje, juga berurusan dengan penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya, Maret 2002. Seorang pria bernama Stephanus Setiawan membuat laporan ke Polda Metro Jaya, isinya: Elsje menipunya Rp 20 miliar. Laporan itu kandas di tengah jalan. Baik Sigit dan Elsje tak bisa dimintai konfirmasi. Tapi, kata Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum keluarga Soeharto. "Semua itu hanya omong kosong belaka."