News
Loading...

Soeharto dan Rezim Anti-Partai

Partai Dimasa ORBA

Bagaimana mengintegrasikan kelompok-kelompok masyarakat ke dalam sistem besar yang disebut negara-bangsa seperti Indonesia? Bagaimana keinginan masyarakat dikomunikasikan kepada elite pemerintah dan sebaliknya kebijakan dari pemerintah disampaikan kepada masyarakat dalam negara yang kompleks pada zaman modern ini? Partai politik, walaupun bukan satu-satunya, adalah jawaban terhadap pertanyaan pertanyaan besar tersebut. Selain berfungsi mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional, partai politik juga berfungsi mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

 Dengan kata lain, partai politik, dalam studi Bill Liddle tahun 1960-an, punya fungsi untuk integrasi nasional. Individu-individu, kelompok suku, agama, kelas sosial, dan sentimen kedaerahan yang begitu besar di negeri kita, dimediasi dan dipertemukan dalam unit-unit lebih besar dalam partai politik. Partai politik juga mendekatkan jarak politik dari pusat kekuasaan kepada rakyat. Fungsi integratif dan artikulatif partai politik inilah yang diabaikan sepanjang sejarah kekuasaan Soeharto. Kebutuhan rezim Orde Baru Soeharto untuk integrasi nasional dan untuk memperantarai rakyat dengan elite pemerintahan dipenuhi terutama lewat kekuatan angkatan bersenjata dan oleh Golongan Karya (Golkar)-kelompok fungsional yang diciptakan elite tentara sendiri.

 Sifat dasar partai adalah refleksi dari pembelahan sosiologis masyarakat-apakah itu karena perbedaan ideologis, kelas sosial, ataupun perbedaan primordial (agama, suku, atau kedaerahan). Karena itu, sejak awal, oleh para pendirinya, Golkar didefinisikan bukan sebagai partai politik, tapi sebagai kelompok fungsional lintas sosiologis. Karena itu Golkar tidak berideologi, tidak merepresentasikan kelompok primordial atau kelas sosial tertentu. Ia berpretensi mewakili semuanya. Kalaupun mau disebut berideologi politik, ideologi yang dimaksud adalah Pancasila. Ia diciptakan bagi lintas golongan ataupun lintas kelompok sosial. Golkar seperti negara; negara dalam negara, atau bentuk lain dari negara.

Akar dari gagasan Golongan Karya, sebagai organisasi non-partai, ini dapat ditarik jauh ke belakang. Setidaknya sampai pada gagasan Soekarno tahun 1920-an yang menghendaki adanya kelompok nasional yang mencerminkan lintas golongan dan kelompok, bukan partai politik yang beragam sebagai cerminan dari keragaman golongan atau kelompok masyarakat. Setelah merdeka, elite politik lain seperti Mohammad Hatta menolak gagasan semacam itu.

Yang mengisi pentas politik adalah partai-partai politik dengan ideologi yang berwarna-warni seperti umumnya ditemukan di negara demokrasi. Tapi setelah Soekarno "mengubur partai-partai politik" lewat pidatonya, bersamaan dengan berakhirnya Demokrasi Parlementer, tahun 1958, gagasan tersebut direalisasikan. Rekrutmen terhadap golongan-golongan ini (buruh, tani, pegawai pemerintah, guru agama, kelompok profesional, dan TNI) dilakukan lewat apa yang oleh Soekarno disebut Front Nasional. Golongan-golongan ini mendapat kursi di MPR Demokrasi Terpimpin Soekarno. Lewat wadah inilah TNI secara formal masuk politik. Keinginan Jenderal Nasution agar tentara juga berperan dalam politik nasional tertampung di sana. Sebelumnya TNI, dan presiden sendiri, di luar arena politik karena sistem parlementer yang dianut dalam demokrasi waktu itu tidak memberikan tempat politik pada presiden sebagai kepala negara dan TNI sebagai pengawal keamanan negara.

 Akibatnya, Soekarno dan tentara sama-sama anti-partai politik. Pada zaman Demokrasi Terpimpin, tentara juga membentuk organisasi-organisasi di berbagai sektor untuk menyaingi PKI, yang waktu itu sangat berpengaruh. Yang paling menonjol di antara organisasi ini adalah Sarekat Pekerja, yang terdiri dari organisasi pekerja di perusahaan perkebunan pemerintah.

Organisasi bikinan tentara inilah kemudian yang menjadi cikal-bakal Golongan Karya. Secara historis, Golkar lahir sebagai wujud dari sentimen anti-partai. Berkat kerja tentara atas instruksi Soeharto, organisasi-organisasi yang bernaung di bawah Golkar ini bertambah dalam waktu singkat: dari 64 pada 1965 menjadi 252 pada 1967. Sekretariat bersama Golkar yang mengkoordinasi kekuatan-kekuatan golongan ini sepenuhnya di bawah kendali tentara. Sentimen anti-partai politik di kalangan petinggi tentara waktu itu mengemuka dengan jelas dalam seminar yang diselenggarakan di Seskoad Bandung pada 1966.

 Dalam seminar itu diusulkan agar sistem pemilu diubah dari proporsional menjadi distrik. Motif di balik usul ini: mencegah partai yang ada kembali mendominasi dan agar tokoh-tokoh partai nasional tidak punya pengaruh terhadap perolehan suara. Usul tentang perubahan sistem pemilu oleh Angkatan Darat ini ditolak DPR tapi Soeharto mencari jalan tengah: sistem proporsional dipertahankan tapi tentara dikasih jatah kursi lewat pengangkatan.

 Di samping itu juga ada kursi di MPR yang mewakili golongan. Yang terakhir ini juga diangkat oleh presiden. Sentimen anti-partai pada masa awal kekuasaan Soeharto terlihat misalnya dari peraturan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud pada 1969, yang melarang pegawai pemerintah berafiliasi dengan partai politik tapi boleh menjadi anggota Golkar, karena Golkar bukan partai politik. Ini kemudian menjadi tradisi sepanjang sejarah politik Indonesia di bawah Soeharto. Pemilihan umum pertama terselenggara pada 1971. Sebanyak 10 partai politik ikut serta. Masjumi dan Partai Sosialis yang dibubarkan Soekarno tidak direhabilitasi.

 Tapi Soeharto mempersilakan membentuk partai baru sebagai wadah bagi keluarga besar Masjumi: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan catatan pemimpin Masjumi, Muhammad Natsir, tidak boleh kembali terjun di gelanggang politik. Hasil pemilihan umum pertama Orde Baru 1971 menunjukkan kemenangan mutlak kekuatan golongan anti-partai politik, yang diorganisasi di dalam Golkar, dengan perolehan suara 65 persen. Untuk sukses besar ini, serangkaian rekayasa politik dilakukan. Di antaranya dengan kebijakan agar partai politik tidak punya hubungan langsung dengan konstituen mereka. Pengurus partai dan kantornya hanya sampai tingkat kabupaten. Tidak boleh sampai kecamatan apalagi desa-desa. Sedangkan Golkar, sebagai kekuatan bukan partai politik, dapat memobilisasi massa langsung lewat birokrasi pemerintah hingga tingkat desa, dan bahkan RW/RT.

Hasil akhir dari politik pemilu ini adalah tergerusnya kekuatan partai politik. Penggerusan terhadap partai ini tidak berhenti sampai di situ. Menjelang Pemilihan Umum 1977, Soeharto melakukan penyederhanaan sistem kepartaian, dari sistem dengan sepuluh menjadi hanya tiga partai. Penyederhanaan dilakukan bukan secara lazim, misalnya dengan diserahkan pada hasil pemilu dan peningkatan electoral threshold, tapi dengan cara sewenang-wenang. Partai yang berlatar belakang Islam seperti Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berlatar belakang nasionalis seperti PNI, dan non-Islam seperti Partai Kristen Indonesia (Parkindo), disatukan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua kelompok partai ini bersaing menghadapi kekuatan "negara", yakni Golkar.

 Mereka selalu kalah selama enam kali pemilu Orde Baru. Soeharto lalu membuat keputusan baru bahwa semua organisasi politik, seperti partai politik, harus berasas sama, yakni Pancasila. Jika sebelumnya masih sedikit ada aroma partai di partai politik tersebut, dengan keputusan politik baru tersebut partai-partai itu menjadi kurang lebih sama dengan Golkar sebagai kekuatan bukan partai politik, melainkan bentuk lain dari negara. Deparpolisasi oleh rezim Soeharto ini berlanjut dengan mengontrol partai-partai yang sudah tidak berbentuk itu dengan mendukung figur-figur yang bisa dipercaya oleh pemerintah.

 Biasanya figur yang kurang punya akar kuat di masyarakat, atau yang cenderung independen dari pengaruh pemerintah. Di PPP, misalnya, pemerintah lebih cenderung pada orang Muslimin Indonesia karena dukungan massa terhadap tokoh-tokoh ini umumnya sudah mulai pudar berkat sukses pemerintah mencegah rehabilitasi Masjumi dan tokoh-tokohnya.

 Juga berkat sukses Golkar menggerogoti massa konstituennya. Kalaupun tokoh dari unsur NU yang didukung, biasanya bukan dari NU Jawa Timur yang punya hubungan sangat kuat dengan massa yang lebih besar. Akibatnya, PB NU yang didominasi para kiai Jawa Timur, termasuk Gus Dur, menyatakan tidak lagi mendukung PPP. Bagi Soeharto ini adalah bentuk pembangkangan, dan kita tahu Gus Dur adalah tokoh NU yang dikucilkan Soeharto. Demikian juga untuk kepemimpinan PDI: Megawati tidak didukung karena punya hubungan langsung dengan Soekarno.

Secara umum retorika yang membenarkan deparpolisasi politik Indonesia pada zaman Soeharto tersebut adalah untuk menciptakan politik nasional lebih stabil dan terbebas dari konflik dan kekerasan. Meski bertujuan luhur, deparpolisasi ternyata bukan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Stabilitas politik tidak bisa diciptakan dengan depluralisasi politik. Buktinya sangat nyata. Rezim Soeharto yang dibangun di atas sentimen dan program politik anti-partai ternyata berujung rusuh bahkan tumbang secara tidak hormat. Begitu Soeharto tumbang, ratusan partai politik muncul.

 Golkar yang begitu perkasa menciut menjadi partai yang kurang lebih seimbang dengan partai-partai lain. Setidaknya ia tidak bisa memerintah sendiri. Munculnya tiga pemilu yang bebas plus ratusan partai pasca deparpolisasi Soeharto ternyata tidak menciptakan instabilitas politik dan konflik sosial. Ini menunjukkan bahwa retorika deparpolisasi Orde Baru Soeharto palsu. Kepalsuan yang tak boleh terulang. Itu juga pelajaran bagi siapa pun yang kurang peduli terhadap partai. Tak terbayangkan sebuah negara yang besar dan kompleks, apalagi kalau harus demokratis, tanpa kehadiran partai politik yang kuat.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :