Soeharto |
adili Soeharto..., gantung Soeharto.... Adili." Yel-yel seperti itu diteriakkan ibu-ibu dan puluhan aktivis dari Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi), sambil menyeret patung mantan presiden Soeharto dalam kerangkeng besi. Mereka berjalan dua kilometer dari Tugu Proklamasi sampai kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Prosesi serupa kerap dilakukan para aktivis hingga kini. Walaupun sudah sepuluh tahun Soeharto tak berkuasa, para keluarga korban penculikan masih menuntut pengadilan terhadap penguasa Orde Baru itu.
Mereka adalah orang tua dan keluarga korban penculikan yang tak pernah kembali dan tak ketahuan di mana kuburnya. Menurut Ketua Ikohi, Mugiyanto, mereka yakin Soeharto terlibat dalam kasus penghilangan paksa para aktivis itu. "Dalam sebuah wawancara di majalah Panjimas, bekas Pangkostrad Prabowo Subianto mengaku diberi 28 nama aktivis yang harus diawasi. Daftar nama itu juga diberikan Soeharto kepada perwira militer lainnya, dan mereka itu yang termasuk hilang sampai kini," ujar Mugiyanto. Menurut Mugi, ada tiga periode penting penghilangan paksa menjelang masa akhir Soeharto berkuasa.
Periode pertama adalah "periode pengamanan" Pemilihan Umum 1997. Saat itu, koalisi PDI dan PPP, yang menyebut dirinya "Mega Bintang", tengah menguat. Pada periode ini aktivis yang hilang adalah mereka yang dikenal dekat dengan kedua partai musuh Golkar, kendaraan politik Soeharto waktu itu.
Para korban adalah Yani Afri dan Soni, aktivis dari PDI, dari PPP, Dedi Hamdun dan Noval Al-Katiri. Periode kedua, menjelang Sidang Umum MPR. Pius Lustrilanang, Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Nezar Patria, Rahardjo Waluyo Jati, Andi Arif, Feisol Reza, Wiji Tukul, termasuk Mugiyanto, merasakan penghilangan "paksa" itu (baca Kuil Penyiksaan Orde Baru). Tak lama kemudian sembilan orang dikembalikan, setelah diteror dan disiksa. "Saya disekap tiga hari, disetrum, disiksa, lalu diantar ke Polda dan ditahan selama tiga bulan," ujar Mugiyanto, 35 tahun.
Saat itu Mugi adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rahardjo Waluyo Jati merasakan hal yang sama. "Selama tiga hari pertama sejak diculik, tangan saya diborgol, kaki diikat, disetrum, dipukuli. Bahkan saya ditelanjangi dan ditidurkan di atas balok es," ujarnya saat memberikan kesaksianya di Komnas HAM.
Jati disekap mulai 12 Maret sampai 28 April 1998. Setelah tiga hari, Jati dipindahkan ke ruang bawah tanah. Di tempat itu ia bertemu aktivis asal Bandung, Pius Lustrilanang. Menurut Pius, kamar nomor lima pernah dihuni Soni dan Yani Afri, pendukung PDI pro-Megawati, Dedi Hamdun dan Lukas, dosen asal Timor Timur. Selama dalam penjara bawah tanah, Jati pernah dikunjungi dua orang. "Mungkin atasan penculik, dari baunya ia memakai parfum mahal.
Dua orang itu diantar lima orang lainnya. Semua orang itu memakai topeng," katanya. Periode ketiga, mereka yang hilang pada saat kerusuhan Mei 1998. "Yang hilang adalah para saksi yang melihat langsung sekelompok orang terkoordinasi membakar pasar atau mal saat penjarah masih banyak di dalamnya," ujar Mugi.
Para korban yang hilang itu tak semuanya terdiri dari aktivis. Ada korban yang bekerja sebagai pengamen atau karyawan, di antaranya bernama Ucok Munandar, Yadi, Abdul Nasser. "Sampai kini mereka tak ketahuan kabarnya, tapi ada yang melihat mereka diambil paksa," katanya. Menurut Mugi, lembaga Ikohi sudah mengajukan permintaan agar tim ad hoc Komnas HAM menyelidiki peran bekas presiden Soeharto untuk mengungkap kasus penghilangan paksa 1997-1998. Tim ini bisa bergerak dengan memanggil paksa pihak TNI dan Polri yang diduga terlibat. "Dulu janji Komnas HAM begitu. Kami juga menyerukan kepada segenap rakyat Indonesia yang mencintai keadilan agar bersama-sama menolak memaafkan Soeharto sebelum ada pengadilan yang jujur dan adil," ujar Mugi.