Soeharto |
MEMO berklasifikasi sangat rahasia dan sensitif itu diumbar di Internet persis saat jasad Soeharto dikuburkan di Karanganyar. Isinya adalah transkrip perbincangan antara Presiden Amerika Serikat Richard Nixon, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, dan Presiden Soeharto di Gedung Putih pada Mei 1970. National Security Archive (NSA), lembaga penelitian di Universitas George Washington, yang memaparkan kabar tersebut.
Bukan cuma dengan Nixon, disebutkan pula pertemuan Soeharto dengan sejumlah petinggi Amerika seperti Presiden Gerald Ford, Ronald Reagan, sampai George Bush. Di sana juga diungkapkan hubungan Washington dengan Soeharto dari 1966 hingga 1998. Pandangan Amerika terhadap Soeharto saat dia mengawali kekuasaannya pada 1966 juga dibeberkan. Begitu pula perebutan Irian Barat 1969, penyerbuan ke Timor Timur 1975, serta kasus penembakan misterius sepanjang 1983-1984, tercatat secara detail. Laporan itu dibuka berdasar akta kebebasan informasi (FOIA). Tujuannya adalah mengungkap korupsi dan kebijakan represi rezim Soeharto yang "direstui" Amerika. "Tidak sekali pun para Presiden AS pernah menggunakan pengaruh maksimumnya atas rezim (Soeharto-Red.)," kata Brad Simpson kepada AFP. Brad adalah pimpinan proyek "Dokumentasi Arsip Indonesia/Timor-Timur" yang digarap NSA pada 2002.
Lembaga ini mengumpulkannya dari National Archive (NARA) dan perpustakaan kepresidenan AS. Tebalnya sampai puluhan ribu halaman. Salah satunya tertera dalam memo 26 Mei 1970. Di depan Nixon, Soeharto terang terangan mengakui menumpas kekuatan Partai Komunis Indonesia. Puluhan ribu orang yang diduga anggota PKI diinterogasi dan ditahan.
Presiden AS ke-37 itu meresponsnya dengan pernyataan dukungan. Menurut NSA melalui situsnya, setelah dua hari kunjungan Soeharto ke Washington, Amerika berjanji menambah bantuan US$ 18 juta. Duit itu memungkinkan Indonesia membeli 15 ribu pucuk senapan M-16 guna mengganti senapan AK-47. Memo lain mengungkap bagaimana rezim Soeharto memberikan berbagai konsesi kehutanan. Salah satunya, dalam memo 5 Desember 1972, diungkapkan upaya Weyerhaeuser mendapat konsesi kayu di Kalimantan.
Perusahaan kayu Amerika itu mengirim surat keluhan ke Gedung Putih. Di Indonesia, Weyerhaeuser harus membayar berbagai pungutan, baik ke militer maupun sipil di Indonesia kendati militer sudah mendapatkan bagian 35 persen saham. "Hal itu mengancam operasional perusahaan," ujar seorang pejabat perusahaan itu. Memo lain pada 7 September 1973 mengungkap bagaimana Soeharto memberi konsesi kepada tiga perusahaan boneka milik keluarga dan kroninya.
Padahal, pada saat yang sama perusahaan AS, International Paper Company, sedang merundingkan konsesi. Namun, berita tak sedap ini ditanggapi dingin oleh Cendana. Koordinator kuasa hukum Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, menganggap data itu tak akan menjadi berkas perkara hukum kliennya. "Dalam ranah hukum, dokumen itu tidak berlaku," ujarnya.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sedang mempelajari data rahasia tersebut. Dokumen itu akan menjadi pertimbangan apakah masih bisa digunakan atau tidak dalam penyidikan. "Harus dilihat kedaluwarsanya. Kalau belum, ya, tentu kami tindaklanjuti," ujar Jaksa Agung.
0 komentar :
Posting Komentar