News
Loading...

Rumah peristirahatan Soeharto

Astana Giribangun

Nun di ketinggian 666 meter di atas laut, Soeharto sudah mendirikan rumahnya yang akan datang. Rumahnya itu nanti bernama Astana Giribangun. Inilah sebuah kompleks makam termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri, Yogyakarta. Astana Giribangun terletak di bawah Astana Mangadeg. Sedangkan Astana Mangadeg adalah tempat tertua di Karanganyar disusul Astana Girilayu, Astana Utara, Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah, Pesarean Rangusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan Astana Giribangun. Di belakang atau sebelah selatan bukit Giribangun mengalir Kali Samin. Di depan pintu kompleks makam Giribangun yang selalu tertutup, terdapat dua pohon jambu mawar yang masing-masing berada di kanan-kiri pintu.

 "Mbak Mamiek (Siti Hutami Adiningsih, putri bungsu Soeharto) paling suka. Kalau pas berbuah, biasanya dikirim ke Jakarta," kata Paino, salah satu petugas makam. Ini memang sebuah tempat yang teduh dan nyaman. Bahkan fasilitas di kompleks makam juga lengkap, mulai dari palereman atau bangunan khusus untuk menginap keluarga Soeharto hingga masjid. Pengurus dan pegawai Astana Giribangun juga secara berdedikasi memelihara kompleks tersebut. Kayu jati masih tampak mengkilap; sesekali dipelitur.

 Makam rajin dipoles, bunga peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci setiap minggu. Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 orang pekerja tanpa menggunakan traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak sekitar 35 kilometer dari Solo itu dapat ditempuh dalam waktu sekitar sejam saja karena jalan menuju kompleks makam dari Matesih sangat mulus.

Astana Giribangun dibangun Yayasan Mangadeg, yayasan yang bertujuan membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur, seperti makam Pangeran Samber Nyowo. Soeharto dan Hartinah masuk sebagai pendiri yayasan yang berdiri pada 28 Oktober 1969 itu. Dan sebenarnya makam di kompleks Giribangun tersebut digunakan untuk keluarga Yayasan Mangadeg, tidak terbatas hanya pihak keluarga Mangkunegaran.

Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun itu-ketika dibangun, bukit dipapras diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Acara tersebut ditandai dengan dipindahkannya kerangka jenazah ayah dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soemoharjomo. Bangunan utama makam terdiri dari bagian yang ditandai dengan trap-trap. Bagian pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun yang masuk ke area ini harus melepaskan alas kaki. Anggota keluarga Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan di area seluas 700 meter persegi ini.

Trap selanjutnya adalah Argokembang dengan luas 600 meter persegi. Dan yang paling puncak adalah Argosari seluas 300 meter persegi. Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di ruangan 80 meter persegi yang dikelilingi gebyok ukiran. Karpet empuk cokelat muda menghampar di ruangan ini. Seluruh bangunan didominasi kayu jati: mulai dari kayu untuk atap hingga tiang penyangga.

 Pada bangunan utama itu, terdapat empat makam yang sudah lama terisi dan satu petak yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung paling timur terdapat makam kakak tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, kemudian ayah dan ibu Hartinah. Di ujung paling barat ada makam Hartinah. Nah, di antaranya itulah makam Soeharto. "Sudah dibuat liangnya sejak dulu, tapi diisi pasir dan ditutup marmer," kata Paino, salah satu pegawai makam, kepada Tempo.

 Argosari memiliki emperan yang nantinya juga akan menjadi makam untuk anak anak dan menantu Soeharto, yang semuanya sudah siap huni. "Tapi saya tidak tahu jumlahnya dan untuk siapa," kata Paino. Masih ada bagian dari Argosari yang juga digunakan untuk makam kerabat Hartinah. Beberapa di antaranya sudah terisi. Di Cungkup Argokembang tersedia 116 calon makam, sedangkan di Argotuwuh terdiri dari 156 calon makam.

 Doa bagi keluarga Soeharto tak hanya berdengung saat ia sakit. Ini memang sesuatu yang rutin. Tapi tentu saja, begitu mendengar Soeharto masuk rumah sakit, Suparmi, warga Kelurahan Kalitan, Kecamatan Laweyan, Solo, termasuk salah seorang warga desa yang datang ke Astana Giribangun untuk mendoakan kesembuhan Soeharto. Suparmi hanya penduduk desa biasa, seperti halnya puluhan warga yang datang ke kompleks pemakaman keluarga Mangkunegaran di Desa Karangbangun, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, Minggu 21 Maret 2006.

 Dan ternyata tidak sekali atau dua kali saja perempuan 36 tahun itu secara sukarela ikut berdoa bersama untuk kesehatan Soeharto dan untuk almarhum istrinya, Siti Hartinah-biasanya setiap malam Senin Pon-baik di Kalitan maupun di Giribangun. Sartono, 39 tahun, adalah warga Kalitan lainnya yang mengaku sering mendoakan Ibu Tien maupun Soeharto. Karena, menurut dia, pada zaman pemerintahan Soeharto, harga-harga murah, jalan-jalan jarang rusak, dan cari nafkah gampang. "Kami melakukannya dengan sukarela karena menginginkan beliau sehat dan selalu mendapat perlindungan dari Yang di Atas," kata Sartono, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit. Warga di sekitar Astana Giribangun, terutama warga Kalitan-tempat tinggal keluarga Hartinah di Solo-memang rutin mendoakan Soeharto, terutama jika sakit.

Di Giribangun sendiri, doa rutin dikumandangkan setiap usai salat magrib oleh para karyawan piket dan tiga hari sekali selepas salat isya. Sedangkan pada hari pasaran Kliwon, sesuai dengan weton Soeharto, mereka juga melakukan doa bersama dengan tahlilan di depan makam Hartinah. Doa-doa untuk Soeharto memang selalu akan dilantunkan dari Astana Giribangun karena itu adalah tempat peristirahatan terakhir Soeharto. Di kompleks tersebut, tempa untuk jasad Soeharto sudah dipersiapkan sejak makam itu dibangun, pada Rabu Kliwon sama dengan weton Soeharto-27 November 1974. Letaknya ada di antara pusara istrinya dan Raden Ayu Kanjeng Soemoharjomo, ibunda Hartinah. "Semuanya sudah ready, tingga tunggu peluit saja," kata Sukirno, pengurus kantor Giribangun. Giribangun memiliki dua area parkir. Satu yang cukup luas terdapat di kaki bukit dan dikitari kios-kios. Tapi, semenjak Soeharto lengser, Giribangun sepi sehingga para pedagang pun jarang berjualan. Satu lagi area parkir persis di samping kompleks makam.

 Di salah satu sudut Argokembang, sebelah utara, terdapat ukiran Surat Yassin pemberian seseorang dari Jepara. Di sudut lainnya terpampang tulisan berisi petikan Sera Wedatama, sebuah sastra Jawa klasik karya Mangkunegoro IV. Kutipannya: Lila lamun kelangan nora gegetun Trimah yen ketaman saserik Sameng dumadi tr legawa nalangsa srahing bathara. (Ikhlas, jika kehilangan, tak akan menyesal Menerima dengan lapang jika mendapatkan kebencian dari sesama Berbesar hati dan menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa) Petikan Serat Wedatama ini memang menunjukkan bahwa Giribangun adalah gerbang yang memisahkan Soeharto dari yang fana dengan keabadian.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar :